“Dulu
kita mendengar bom bunuh diri hanya terjadi di daerah Afganistan dan Irak tetapi sekarang bom bunuh diri ada di dekat
dengan kita, bahkan ada di tetangga kita,” demikian dikatakan oleh Dr.Rumadi
Ahmad dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Lintas Agama Kota
Tangerang Selatan. Diskusi publik yang berlangsung pada Kamis, 23 Mei 2013 di
Restoran Telaga Seafood Bumi Serpong Damai, dihadiri sekitar ratusan orang yang mewakili
pelbagai unsur / elemen masyarakat,
terutama tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, dan Islam. Diskusi publik
ini dibuka oleh kabag kesbangpolimas Kota Tangerang Selatan, H.Budi Dedi
Hirawan yang mewakili Ibu Wali Kota Tangerang Selatan yang tidak berkesempatan
hadir. Pada kesempatan itu, Dedi Hirawan menghimbau kepada seluruh elemen
masyarakat agar tetap menjaga lingkungannya agar bebas dari gangguan terorisme
dan sekaligus menginginkan agar Tangerang Selatan tetap kondusif.
Secara organisatoris, terorisme
sudah dilumpuhkan tetapi tidak berarti mati secara total. Ada gerakan terorisme
yang muncul secara sporadis. Dengan berkaca pada kenyataan ini maka mendorong Abdul Rojak, MA sebagai
moderator, yang menekankan bahwa
terorisme menjadi musuh bersama. Dalam memberantas terorisme ini perlu
meningkatkan partisipasi masyarakat yang melihat dan mengawasi orang-orang yang
berada di sekitarnya. Ketika masyarakat semakin cuek dengan situasi ini maka
pada saat yang sama, teroris muncul lagi, sepertinya membangunkan masyarakat
dari sikap apatisnya.
Diskusi publik ini menghadirkan
dua pembicara, yakni Dr. Rumadi Ahmad dari Wahid Institut dan Zora A. Sukabdi,
M.Psi, dosen psikologi Universitas Indonesia. Dalam pemaparan makalahnya,
Rumadi Ahmad mengatakan bahwa “terorisme menjadi musuh bersama tetapi
terkadang, kita tidak mengerti, siapa itu musuh kita.” Apa yang dikatakan ini
berkaitan dengan gerakan pemberantasan terorisme yang terkadang menemui jalan buntu karena para teroris yang
bergerak secara sempalan dan ini menjadi sulit terdeteksi. Lebih jauh Rumadi mempertanyakan, “mengapa
orang mati karena bom bunuh diri diperdebatkan secara berlebihan, sedangkan
orang yang mati ditabrak ditanggapi secara dingin?” Padahal esensinya sama,
yakni sama-sama mati, hanya cara atau proses kematiannya beda.
Sedangkan Zora A. Sukabdi,
selain sebagai dosen psikologi di Universitas Indonesia, ia juga dikenal
sebagai pegiat yang terjun langsung mendampingi kelompok-kelompok teroris yang
tertangkap dan masih dipenjarakan. Dalam proses pendampingan, ia mengatakan
bahwa para teroris yang dipenjara ketika dimintai pendapat mengenai apa yang
dilakukan, mereka menceritakan dengan penuh semangat dan seolah-olah apa yang
dilakukannya sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka
menceritakan tindakan sadis yang dilakukan tetapi mereka tidak melihatnya
sebagai tindakan yang salah. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Zora A.
Sukabdi menjadi bagian penting dalam proses penyadaran kembali tentang apa yang
dilakukan dan meluruskan pemahaman yang salah yang terbangun dalam dirinya. Di
akhir diskusi publik itu, Zora A. Sukabdi mengajak para peserta untuk melihat
“musuh” bersama ada dalam diri kita masing-masing. Kita memusuhi egoisme kita,
dan memusuhi paham-paham yang membenarkan sebuah tindakan sadis atas nama agama
tertentu.***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar