Setiap
tahun, tepatnya tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Tahun ini bangsa Indonesia merayakan usia kemerdekaan
yang ke 68, sebuah usia, yang kalau disejajarkan dengan seorang manusia, termasuk usia sepuh. Di setiap lingkungan pendidikan, instansi
pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan, berusaha untuk menghidupkan pesta kemerdekaan ini dengan
acara-acara yang gemilang. Tetapi apakah, acara yang dilakukan ini merupakan
sebuah seremoni tanpa makna? Apa arti kemerdekaan bagi generasi kita yang tidak
mengalami secara langsung bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah?
Apa sumbangan yang diberikan oleh orang-orang Katolik, baik pada zaman
perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan maupun pada saat sekarang, ketika kita
bebas dari penjajah? Apa yang kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan yang telah
diperjuangkan oleh para pendahulu?
Menelusuri keterlibatan orang-orang Katolik terutama pada saat-saat memperjuangkan kemerdekaan, walaupun tidak seberapa banyak, tetapi peran mereka terkesan masih menyimpan energi yang bisa memberikan semangat baru terutama bagi generasi setelahnya. Seorang Uskup Pribumi pertama, cukup kuat ditonjolkan terutama peranannya dalam menghadapi bangsa penjajah. Hidup dalam sebuah zaman dan tekanan politik yang luar biasa, Rama Soegija yang masih menjadi imam, bersama Bung Karno lebih suka mengutamakan, bagaimana memperkembangkan kebangsaan dan Gereja yang nasionalis dan merdeka, daripada sekedar melestarikan apa yang adiluhung dan mulia di Indonesia.
Bagi
Rama Soegija yang selama tahun 1919-1926 mengalami pendidikan modern gaya
Eropa, hal itu tidak membuatnya lupa
terhadap Indonesia. Melalui celah pendidikan Eropa, Rama Sogija mulai melihat
bahwa Indonesia sejak tahun 1928 membangun sudah komunitas imajinatif, yang
dilihat sebagai wadah para warga Indonesia yang mulai berbahasa nasional
sebagai cara sederhana mengatasi perselisihan yang terjadi berdasar
SARA (kelas sosial, Agama dan RAS). Berangkat dari suatu pemahaman sederhana
bahwa bahasa menjadi pemersatu dan dalam ikatan persatuan itu, perlahan-lahan
orang-orang dari suku yang berbeda yang masuk dalam Indonesia ini,
menghilangkan ego sektoral dan membangun nasionalisme. Dalam masa penjajahan
waktu itu, peran tokoh-tokoh kharismatik menjadi penentu untuk menggerakkan
masyarakat yang berada di seluruh nusantara untuk berjuang. Bung Karno dan
Monsinyur Soegija menempatkan perjuangan mereka di atas kepentingan
masyarakat. Menurut Mgr. Albertus
Soegijapranata, SJ, “Kemanusiaan
itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan lainan bahasa dan adat
istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan keluarga besar. Satu
keluarga besar, di mana
anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan
kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian, dan permusuhan.”
Selain Mgr. Soegija yang terlibat dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan menegakkan humanisme, dikenal juga beberapa orang Katolik yang
dengan caranya tersendiri terlibat penuh dalam hidup berbangsa dan bernegara. Romo
Frans
van
Lith, SJ menjadi inspirator gerakan awam Katolik awal abad XX dan perjuangan
politiknya berpihak pada kaum pribumi dengan menciptakan kader-kader profesional
melalui Pendidikan Guru yang ditandai dengan berdirinya Sekolah Guru di
Muntilan. Beberapa tokoh
Katolik berhasil ditempah dalam lembaga pendidikan terkenal itu dan berkiprah
dalam kancah perpolitikan nasional.
Mgr.
Djajaseputera, dalam perjuangan politiknya, selalu secara prinsipiil menolak
bekerjasama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Romo
YB Mangunwijaya, seorang arsitek bangunan yang mempunyai option for the poor,
berani membela perjuangan kaum petani yang menentang pembangunan Waduk Kedungombo,
Jawa Tengah pada masa pemerintahan rezim Orde Baru. I.J. Kasimo terkenal dengan prinsip
politiknya, yaitu “Salus Populi Suprema Lex” (Kesejahteraan rakyat
adalah hukum tertinggi). Frans Seda, Putra Flores yang gigih berjuang
dari dalam sistem kepemerintahan ORLA dan
ORBA dalam hal kesejahteraan ekonomi rakyat/pro rakyat, serta akhirnya
giat di PDI.
Setiap kali merayakan pesta kemerdekaan ini, Gereja
Katolik sering mengulas kembali sepak terjang perjuangan, baik itu kaum klerus
maupun kaum awam dalam kancah perpolitikan Indonesia. Banyak pihak mengakui
bahwa figur orang-orang Katolik semakin menghilang dalam peredaran zaman. Para
imam, biarawan/i lebih merasa nyaman hidup di balik biara ketimbang terlibat
langsung bersama masyarakat bahkan tampil sebagai pembela. Demikian juga kaum
awam, lebih banyak berupaya untuk mencari popularitas diri dan kepentingan
pribadi dan partai ketimbang berpihak pada masyarakat umum. Menjadi pertanyaan
buat kita sebagai generasi penerus bangsa ini. Apakah figur Katolik dan peran
yang gigih dalam berjuang demi bangsa hanya sampai pada sosok Frans Seda?
Para pejuang dari kalangan Gereja Katolik telah tiada
tetapi spirit perjuangan mereka tak pernah hilang. Spirit perjuangan mereka
terus digelorakan pada setiap waktu agar umat Katolik semakin menyadari peran
dan kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara ini. Mereka telah mulai
meletakkan dasar perjuangan dengan berlandaskan pada humanisme dan berani
menanggalkan sikap primordial. Perjuangan mereka butuh keberlanjutan untuk
menata negeri ini dari keterpurukan secara ekonomi dan politik. Siapakah orang
Katolik yang bakal muncul setelah Frans Seda yang berjuang dan berpihak pada
kesejahteraan ekonomi rakyat?***(Valery Kopong, tulisan ini sudah dimuat di TABLOIT
SABDA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar