Kamis, 17 Oktober 2013

MENJADI PEJUANG, BERANI MENANGGALKAN SIKAP PRIMORDIAL




Setiap tahun, tepatnya  tanggal 17 Agustus,  bangsa Indonesia merayakan hari  kemerdekaan. Tahun ini  bangsa Indonesia merayakan usia kemerdekaan yang ke 68, sebuah usia,  yang kalau disejajarkan dengan seorang manusia, termasuk usia sepuh.  Di setiap lingkungan pendidikan, instansi pemerintah dan masyarakat  secara keseluruhan, berusaha untuk menghidupkan pesta kemerdekaan ini dengan acara-acara yang gemilang. Tetapi apakah, acara yang dilakukan ini merupakan sebuah seremoni tanpa makna? Apa arti kemerdekaan bagi generasi kita yang tidak mengalami secara langsung bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah? Apa sumbangan yang diberikan oleh orang-orang Katolik, baik pada zaman perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan maupun pada saat sekarang, ketika kita bebas dari penjajah? Apa yang kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu?
           
Menelusuri  keterlibatan orang-orang Katolik terutama pada saat-saat memperjuangkan kemerdekaan,  walaupun tidak seberapa banyak, tetapi peran mereka terkesan masih menyimpan energi yang bisa memberikan semangat baru  terutama bagi generasi setelahnya. Seorang Uskup Pribumi pertama, cukup kuat ditonjolkan terutama peranannya dalam menghadapi bangsa penjajah. Hidup dalam sebuah zaman dan tekanan politik yang luar biasa, Rama Soegija yang masih menjadi imam, bersama Bung Karno lebih suka mengutamakan, bagaimana memperkembangkan kebangsaan dan Gereja yang nasionalis dan merdeka, daripada sekedar melestarikan apa yang adiluhung dan mulia di Indonesia.
     Bagi Rama Soegija yang selama tahun 1919-1926 mengalami pendidikan modern gaya Eropa,  hal itu tidak membuatnya lupa terhadap Indonesia. Melalui celah pendidikan Eropa, Rama Sogija mulai melihat bahwa Indonesia sejak tahun 1928 membangun sudah komunitas imajinatif, yang dilihat sebagai wadah para warga Indonesia yang mulai berbahasa nasional sebagai cara  sederhana mengatasi perselisihan yang terjadi berdasar SARA (kelas sosial, Agama dan RAS). Berangkat dari suatu pemahaman sederhana bahwa bahasa menjadi pemersatu dan dalam ikatan persatuan itu, perlahan-lahan orang-orang dari suku yang berbeda yang masuk dalam Indonesia ini, menghilangkan ego sektoral dan membangun nasionalisme. Dalam masa penjajahan waktu itu, peran tokoh-tokoh kharismatik menjadi penentu untuk menggerakkan masyarakat yang berada di seluruh nusantara untuk berjuang. Bung Karno dan Monsinyur Soegija menempatkan perjuangan mereka di atas kepentingan masyarakat.  Menurut Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ,  Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan lainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan keluarga besar. Satu keluarga besar, di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak  menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian, dan permusuhan.”
Selain Mgr. Soegija yang terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menegakkan humanisme, dikenal juga beberapa orang Katolik yang dengan caranya tersendiri terlibat penuh dalam hidup berbangsa dan bernegara. Romo Frans  van Lith, SJ menjadi inspirator gerakan awam Katolik awal abad XX dan perjuangan politiknya berpihak pada kaum pribumi dengan menciptakan kader-kader profesional melalui Pendidikan Guru yang ditandai dengan berdirinya Sekolah Guru di Muntilan. Beberapa tokoh Katolik berhasil ditempah dalam lembaga pendidikan terkenal itu dan berkiprah dalam kancah perpolitikan nasional.
Mgr. Djajaseputera, dalam perjuangan politiknya, selalu secara prinsipiil menolak bekerjasama dengan  PKI (Partai Komunis Indonesia).  Romo YB Mangunwijaya, seorang arsitek bangunan yang mempunyai option for the poor, berani membela perjuangan kaum petani yang menentang pembangunan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah pada masa pemerintahan rezim Orde Baru. I.J. Kasimo terkenal dengan prinsip politiknya, yaitu “Salus Populi Suprema Lex” (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).  Frans Seda, Putra Flores yang gigih berjuang dari dalam sistem kepemerintahan ORLA dan  ORBA dalam hal kesejahteraan ekonomi rakyat/pro rakyat, serta akhirnya giat di PDI.
Setiap kali merayakan pesta kemerdekaan ini, Gereja Katolik sering mengulas kembali sepak terjang perjuangan, baik itu kaum klerus maupun kaum awam dalam kancah perpolitikan Indonesia. Banyak pihak mengakui bahwa figur orang-orang Katolik semakin menghilang dalam peredaran zaman. Para imam, biarawan/i lebih merasa nyaman hidup di balik biara ketimbang terlibat langsung bersama masyarakat bahkan tampil sebagai pembela. Demikian juga kaum awam, lebih banyak berupaya untuk mencari popularitas diri dan kepentingan pribadi dan partai ketimbang berpihak pada masyarakat umum. Menjadi pertanyaan buat kita sebagai generasi penerus bangsa ini. Apakah figur Katolik dan peran yang gigih dalam berjuang demi bangsa hanya sampai pada sosok Frans Seda?   
            Para pejuang dari kalangan Gereja Katolik telah tiada tetapi spirit perjuangan mereka tak pernah hilang. Spirit perjuangan mereka terus digelorakan pada setiap waktu agar umat Katolik semakin menyadari peran dan kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara ini. Mereka telah mulai meletakkan dasar perjuangan dengan berlandaskan pada humanisme dan berani menanggalkan sikap primordial. Perjuangan mereka butuh keberlanjutan untuk menata negeri ini dari keterpurukan secara ekonomi dan politik. Siapakah orang Katolik yang bakal muncul setelah Frans Seda yang berjuang dan berpihak pada kesejahteraan ekonomi rakyat?***(Valery Kopong, tulisan ini sudah dimuat di TABLOIT SABDA)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar