Ketika
mengunjungi Yayasan Sayap Ibu, sebuah
yayasan yang menaungi panti sosial ini, terlihat ada yang menyedihkan. Dari guratan wajah anak-anak
yang dibuang orang tuanya, sepertinya mereka memendam sebuah pertanyaan sederhana,
“mengapa kami dilahirkan?” Pertanyaan ini sepertinya menggugat dan menggugah
kesadaran setiap orang yang mengunjungi panti
sosial ini. Kawasan yang dijadikan sebagai panti sosial ini agak sepi, jauh
dari keramaian. Letaknya di Graha Bintaro-Tangerang Selatan, di hamparan tanah
yang cukup luas. Di area inilah anak-anak mengalami keterasingan diri namun
tidak bisa memberontak karena cacat yang dideritanya.
Ada
berbagai macam penyakit yang diderita anak-anak bahkan membuat mereka cacat.
Atas dasar kecacatan inilah yang mendorong orang tua mereka untuk membuang
mereka dari keluarga. Barangkali sakit
yang diderita itu membawa beban bagi orang tua dan karenanya mereka
disingkirkan secara tragis dari keluarga.
Kebanyakan mereka menderita bisu,
tuli dan cacat yang lain, yang sulit berkomunikasi dengan para pengunjung.
Namun dari sorot mata mereka, dapat dibaca bahwa mereka butuh untuk didampingi,
butuh kasih sayang terutama dari orang tua.
Komunitas Sayap Ibu, sangat ramah. Suasana penuh keakraban terjalin, tidak hanya antar anak-anak yang cacat tetapi terlebih dari mereka yang mengasuhnya. Novi, gadis muda asal Ciamis, Jawa Barat ini mengaku senang mengasuh anak-anak cacat. Baginya, pengalaman mengasuh kedua orang tuanya yang sudah tua-renta, menjadikan ia berani untuk merawat mereka yang cacat dan dilupakan oleh keluarga. Novi terlihat ceriah melayani anak-anak yang memiliki kekurangan itu.
Mengapa Kami Dilahirkan?
Mengunjungi
anak-anak cacat di Yayasan Sayap Ibu, tidak beda jauh, menemui pertanyaan-pertanyaan buntu yang masih menetap
dalam diri anak-anak yang termarjinalkan. Mereka berontak dalam diam dan
menyoroti situasi sosial yang tengah mengalami carut-marut, menelantarkan
begitu banyak anak yang tidak bersalah. Bayi yang baru lahir terpaksa dibuang
di jalan atau di tong-tong sampah. Anak-anak yang cacat juga ditinggalkan
begitu saja oleh orang tuanya sendiri. Tindakan yang menentang nilai-nilai
kemanusiaan menjadi momentum refleksi bersama bagi mereka yang masih memiliki
nurani yang bening.
Salahkah
kami dilahirkan di dunia ini? Ataukah kehadiran kami yang cacat bisa mencoreng
dunia, tempat kami berpijak? Inilah deretan litani panjang yang terus mengitari
kehidupan orang-orang cacat yang terhempas dari keluarganya sendiri. Keluarga,
di mata anak-anak cacat adalah “ruang pergumulan,” tempat mereka dipertanyakan
oleh orang tuanya sendiri. Mengapa anakku lahir cacat? Apakah karena kecacatan
yang diderita, terpaksa mereka didepak dari keluarga?
Memang
Tuhan memiliki rencana sendiri, manusia tidak mengetahui secara pasti kondisi
anak yang dilahirkan. Apakah dalam kondisi baik atau cacat? Umumnya anak dalam
kondisi baik, biasanya diterima oleh keluarga dan apabila kondisinya cacat,
keluarga menolaknya. Tetapi dalam peristiwa ini semestinya cacat juga dilihat
sebagai sebuah anugerah dari Tuhan. Cacat
hanya secara fisik tetapi Allah menganugerahi kelebihan-kelebihan lain.
Anak-anak cacat, secara intelektual bisa bertarung dengan orang lain yang
secara fisik normal. Lahir untuk untuk
hidup dan bertarung merupakan hukum alamiah yang tidak perlu dihindari lagi.
Menjadi berat di sini adalah pola asuh antara
anak yang cacat dan anak yang normal.
Hal
yang sangat diperlukan adalah sikap menerima
kehadiran anak-anak dalam keluarga dan pendampingan secara kontinu dalam
setiap perkembangan hidup mereka. Tanpa sikap menerima yang baik terhadap
anak-anak maka mereka merasa terasing dalam keluarganya sendiri. Sikap menerima
dengan balutan kasih sayang orang tua menjadi kunci utama dalam memotivasi hidup
terhadap anak-anak. Apalagi mereka yang cacat, mestinya membutuhkan perhatian
lebih dari orang tua tetapi ternyata kasih sayang orang tua “hilang” ditelan egoisme.
Kehadiran
Yayasan Sayap Ibu di tengah masyarakat yang “memungut” dan merawat mereka yang
cacat, sepertinya membuka cakrawala baru bagi kita bahwa mereka sedang
membangun “rumah kemanusiaan” yang sedang terkoyak oleh ulah para orang tua
yang tidak bertanggung jawab. Yayasan Sayap Ibu adalah rumah bersama bagi mereka yang
cacat yang telah dihempaskan oleh keluarga.
Tetapi bukan berarti bahwa banyak anak yang cacat yang dibuang dan
dirawat pada yayasan tersebut, melainkan kehadiran yayasan ini menggugah
kesadaran setiap orang untuk peduli dan berpihak pada mereka yang lemah serta
memberikan perlindungan padanya. Dalam diam sepanjang waktu, mereka terus
menggugat dalam tanya, mengapa kami dilahirkan?***(Valery Kopong,
http://viretabahasa.blogspot.com)
Aduh malangnya nasib anak yang diasingkan dari tengah-tengah kehangatan keluarga saya mendengarnya miris. Masihkah ada hati, rasa dan cinta orang tua tersebut?///
BalasHapusSurat Keluarga November 2013
BalasHapusMenemukan kembali Suka cita Yang tertunda bukan membayar banyak hal dengan barang-barang tetapi menjadikan harta di dalam hati yang baik dan tulus. Sebagai jembatan menemukan kebahagiaan bersama Keluarga di Rumah.
Keluarga memang kekayaan yang tak habis digali, karena kita semua pernah berada di sana dan masih akan terus berada di sana. Bulan November ini kita masih terus mengenang para arwah saudara/i , orang tua , oma opa kita yang telah lebih dahulu dipanggil Tuhan, Kita yang masih berada di dunia ini " wajib " mendoakan mereka dalam bulan November ini, sebagai tanda sayang dan cinta kita pada almarhum. Buat kita anak-anak buatlah semaksimal mungkin orang tua kita senang menikmati masa tuannya dan bawalah setiap doamu, agar panjang umur dan sehat selalu. Bagi orang tua berilah tempat untuk pendidikan nilai seperti sopan santun, kesabaran, kejujuran , ketekunan kepercayaan ketulusan kemurahan hati dan kerendahan hati , maka anak-anak akan mendapat sekolah nilai terbaik semasa hidup kanak-kanak. Musuh dari pendidikan nilai itu adalah ambisi membuta, semangat materialis, sikap acuh tak acuh individualisme dan relativeisme iman. Bulan Desember kita memasuki bulan Keluarga berilah setiap hari suatu keluarga yang hidup dalam ketundukan pada sabda-sabda-Nya keluarga rindu untuk bertemu dalam doa bersama seperti keluarga Nazareth yang terdiri dari Yoseph Maria dan Yesus