Kamis, 17 Oktober 2013

MENCARI KASIH SAYANG YANG HILANG



                Ketika mengunjungi  Yayasan Sayap Ibu, sebuah yayasan yang menaungi panti sosial ini, terlihat ada yang  menyedihkan. Dari guratan wajah anak-anak yang dibuang orang tuanya, sepertinya mereka memendam sebuah pertanyaan sederhana, “mengapa kami dilahirkan?” Pertanyaan ini sepertinya menggugat dan menggugah kesadaran setiap orang yang mengunjungi  panti sosial ini. Kawasan yang dijadikan sebagai panti sosial ini agak sepi, jauh dari keramaian. Letaknya di Graha Bintaro-Tangerang Selatan, di hamparan tanah yang cukup luas. Di area inilah anak-anak mengalami keterasingan diri namun tidak bisa memberontak karena cacat yang dideritanya.
                Ada berbagai macam penyakit yang diderita anak-anak bahkan membuat mereka cacat. Atas dasar kecacatan inilah yang mendorong orang tua mereka untuk membuang mereka  dari keluarga. Barangkali sakit yang diderita itu membawa beban bagi orang tua dan karenanya mereka disingkirkan secara tragis dari keluarga.  Kebanyakan mereka menderita  bisu, tuli dan cacat yang lain, yang sulit berkomunikasi dengan para pengunjung. Namun dari sorot mata mereka, dapat dibaca bahwa mereka butuh untuk didampingi, butuh kasih sayang terutama dari orang tua.
               
Komunitas Sayap Ibu, sangat ramah. Suasana penuh keakraban terjalin, tidak hanya antar anak-anak yang cacat tetapi terlebih dari mereka yang mengasuhnya. Novi, gadis muda asal Ciamis, Jawa Barat ini mengaku senang mengasuh anak-anak cacat. Baginya, pengalaman mengasuh kedua orang tuanya yang sudah tua-renta, menjadikan ia berani untuk merawat mereka yang cacat dan dilupakan oleh keluarga. Novi terlihat ceriah melayani anak-anak yang memiliki kekurangan itu.

Mengapa  Kami  Dilahirkan?
                Mengunjungi anak-anak cacat di Yayasan Sayap Ibu, tidak beda jauh,  menemui  pertanyaan-pertanyaan buntu yang masih menetap dalam diri anak-anak yang termarjinalkan. Mereka berontak dalam diam dan menyoroti situasi sosial yang tengah mengalami carut-marut, menelantarkan begitu banyak anak yang tidak bersalah. Bayi yang baru lahir terpaksa dibuang di jalan atau di tong-tong sampah. Anak-anak yang cacat juga ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya sendiri. Tindakan yang menentang nilai-nilai kemanusiaan menjadi momentum refleksi bersama bagi mereka yang masih memiliki nurani yang bening.
                Salahkah kami dilahirkan di dunia ini? Ataukah kehadiran kami yang cacat bisa mencoreng dunia, tempat kami berpijak? Inilah deretan litani panjang yang terus mengitari kehidupan orang-orang cacat yang terhempas dari keluarganya sendiri. Keluarga, di mata anak-anak cacat adalah “ruang pergumulan,” tempat mereka dipertanyakan oleh orang tuanya sendiri. Mengapa anakku lahir cacat? Apakah karena kecacatan yang diderita, terpaksa mereka didepak dari keluarga?
                Memang Tuhan memiliki rencana sendiri, manusia tidak mengetahui secara pasti kondisi anak yang dilahirkan. Apakah dalam kondisi baik atau cacat? Umumnya anak dalam kondisi baik, biasanya diterima oleh keluarga dan apabila kondisinya cacat, keluarga menolaknya. Tetapi dalam peristiwa ini semestinya cacat juga dilihat sebagai sebuah anugerah dari Tuhan. Cacat  hanya secara fisik tetapi Allah menganugerahi kelebihan-kelebihan lain. Anak-anak cacat, secara intelektual bisa bertarung dengan orang lain yang secara fisik normal.  Lahir untuk untuk hidup dan bertarung merupakan hukum alamiah yang tidak perlu dihindari lagi. Menjadi berat di sini adalah pola asuh antara  anak yang cacat dan anak yang normal.  
                Hal yang sangat diperlukan adalah sikap menerima  kehadiran anak-anak dalam keluarga dan pendampingan secara kontinu dalam setiap perkembangan hidup mereka. Tanpa sikap menerima yang baik terhadap anak-anak maka mereka merasa terasing dalam keluarganya sendiri. Sikap menerima dengan balutan kasih sayang orang tua menjadi kunci utama dalam memotivasi hidup terhadap anak-anak. Apalagi mereka yang cacat, mestinya membutuhkan perhatian lebih dari orang tua tetapi ternyata kasih sayang orang tua  “hilang” ditelan egoisme.
                Kehadiran Yayasan Sayap Ibu di tengah masyarakat yang “memungut” dan merawat mereka yang cacat, sepertinya membuka cakrawala baru bagi kita bahwa mereka sedang membangun “rumah kemanusiaan” yang sedang terkoyak oleh ulah para orang tua yang tidak bertanggung jawab. Yayasan Sayap  Ibu adalah rumah bersama bagi mereka yang cacat yang telah dihempaskan oleh keluarga.  Tetapi bukan berarti bahwa banyak anak yang cacat yang dibuang dan dirawat pada yayasan tersebut, melainkan kehadiran yayasan ini menggugah kesadaran setiap orang untuk peduli dan berpihak pada mereka yang lemah serta memberikan perlindungan padanya. Dalam diam sepanjang waktu, mereka terus menggugat dalam tanya, mengapa kami dilahirkan?***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)

               

2 komentar:

  1. Aduh malangnya nasib anak yang diasingkan dari tengah-tengah kehangatan keluarga saya mendengarnya miris. Masihkah ada hati, rasa dan cinta orang tua tersebut?///

    BalasHapus
  2. Surat Keluarga November 2013
    Menemukan kembali Suka cita Yang tertunda bukan membayar banyak hal dengan barang-barang tetapi menjadikan harta di dalam hati yang baik dan tulus. Sebagai jembatan menemukan kebahagiaan bersama Keluarga di Rumah.

    Keluarga memang kekayaan yang tak habis digali, karena kita semua pernah berada di sana dan masih akan terus berada di sana. Bulan November ini kita masih terus mengenang para arwah saudara/i , orang tua , oma opa kita yang telah lebih dahulu dipanggil Tuhan, Kita yang masih berada di dunia ini " wajib " mendoakan mereka dalam bulan November ini, sebagai tanda sayang dan cinta kita pada almarhum. Buat kita anak-anak buatlah semaksimal mungkin orang tua kita senang menikmati masa tuannya dan bawalah setiap doamu, agar panjang umur dan sehat selalu. Bagi orang tua berilah tempat untuk pendidikan nilai seperti sopan santun, kesabaran, kejujuran , ketekunan kepercayaan ketulusan kemurahan hati dan kerendahan hati , maka anak-anak akan mendapat sekolah nilai terbaik semasa hidup kanak-kanak. Musuh dari pendidikan nilai itu adalah ambisi membuta, semangat materialis, sikap acuh tak acuh individualisme dan relativeisme iman. Bulan Desember kita memasuki bulan Keluarga berilah setiap hari suatu keluarga yang hidup dalam ketundukan pada sabda-sabda-Nya keluarga rindu untuk bertemu dalam doa bersama seperti keluarga Nazareth yang terdiri dari Yoseph Maria dan Yesus

    BalasHapus