Lokasi yang akan didirikan Gereja Katolik Santa Bernadeth Ciledug-Tangerang. Lokasi ini disegel oleh kelompok intoleran pada Minggu, 22 September 2013 |
Sabtu, 28 September 2013
Gereja Dihambat
Intoleransi timbul akibat pemimpin lemah
27/09/2013
Puteri Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, mengatakan peristiwa sosial yang menggambarkan intoleransi seperti konflik antarpemeluk agama, disebabkan lemahnya pemimpin dalam mengayomi masyarakat.
“Sembilan tahun The Wahid Institute berjalan, dari berbagai kasus yang dianalisis, faktor kepemimpinan sangat mempengaruhi bagaiaman sebuah intoleransi di masyarakat terjadi dan merembet pada kasus yang lebih besar,” kata Yenny dalam perayaan ulang tahun The Wahid Institute di Jakarta, Kamis, seperti dilansir antaranews.com.
Yenny mengatakan, setiap pemimpin, baik di tingkat daerah maupun nasional, seharusnya mengimplementasikan “Bhineka Tunggal Ika”, serta mengamlakan falsafah kebersamaan dalam sebuah perbedaan kepada warganya.
Hal itu menjadi jaminan yang harus diberikan oleh pemimpin, mengingat perbedaan suku, agama dapat menjadi hal yang sangat sensitif jika tidak dikelola dengan baik, kata Yenny.
“Di situlah posisi pemimpin, harus menjamin suasana perbedaan selalu `sejuk`,” ujarnya.
Dia berpendapat pemeluk agama kadang terjebak dalam “militansi” atas nama satu keyakinan, sehingga menganggap perbedaan paham dengan kelompok lain adalah sesuatu yang harus disimpulkan siapa yang benar dan yang salah.
Yenny menekankan konsep pemikiran agama harus dibungkus dengan perilaku yang dapat mengayomi kehidupan bermasyarakat. “Dogma-dogma tidak selalu dapat menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Secara terpisah Eva Kusuma Sundari dari Komisi III DPR RI menilai pemerintah pusat lemah dalam penegakkan hukum terkait isu-isu radikalisasi agama.
Menurutnya, Mendagri tidak memahami fakta bahwa radikalisasi tumbuh subur dan makin berani di Indonesia akibat penegakkan hukum yang lemah.
“Saya menyesalkan Pak Mendagri tidak paham fakta bahwa radikalisasi subur dan makin berani di Indonesia akibat penegakkan hukum yg lemah. Sementara penegakkan hukum yg lemah salah satunya disebabkan sikap pemerintah pusat yang lemah terhadap penegakkan hukum terhadap isu-isu radikalisasi agama,” katanya.
Kamis, 19 September 2013
MARIA, IBU YANG PEDULI
Dalam
injil Yohanes 2:1-11 mengisahkan tentang perkawinan di Kana. Peristiwa
perkawinan di Kana menjadi sebuah peristiwa penting karena melalui peristiwa
ini, Maria memperkenalkan Yesus ke hadapan umum. Ketika menjalani kehidupan di
dunia ini, Yesus pertama kali mengadakan mukjizat pada saat di mana ia terlibat
bersama ibunya menghadiri pesta. Mereka hadir tidak hanya sebagai undangan
biasa yang hanya datang, bersukaria lalu pulang ke rumah. Maria dan Yesus yang
hadir saat ini benar-benar terlibat dan merasakan apa yang dialami oleh tuan pesta.
Kalau
kita melihat secara jeli kisah perkawinan di Kana, kita bisa menarik suatu
kesimpulan sederhana yaitu tuan pesta yang mengadakan pesta tersebut
kemungkinan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Maria, hanya saja tidak
diceritakan secara menyeluruh tentang siapa sebenarnya tuan pesta itu. Tetapi
yang jelas bahwa tuan pesta sebagai penyelenggara perhelatan besar itu
mengundang Maria untuk menghadiri pesta itu. Maria tidak hanya hadir dan
menyaksikan seperti apa acaranya lalu mengeritiknya, tetapi lebih dari itu, ia
menunjukkan rasa empati yang mendalam terhadap tuan pesta itu.
Saat
manakah Maria mengambil peran penting di dalam pesta itu? Saat di mana mereka
kehabisan anggur. Mengadakan pesta berarti mempertaruhkan nama baik,
mempertaruhkan gengsi di mata publik. Sebagai tuan pesta, tentunya mereka
memberikan yang terbaik untuk para undangan yang hadir. Sikap peduli yang
tinggi dan bagaimana menjamu para undangan yang baik, menjadi sebuah keharusan
yang tidak bisa ditawar lagi. Karena itu kekurangan makanan ataupun minuman
menjadi sebuah persoalan yang memalukan dan sekaligus mencoreng nama baik
keluarga.
Maria
tahu, bahwa penyelenggaraan pesta, tidak lain adalah penyelenggaraan martabat
keluarga. Karena itu kekurangan yang diakibatkan oleh kelalaian tuan pesta
menjadi sebuah momok yang menakutkan. Maria tidak ingin agar nama baik keluarga
yang menyelenggarakan pesta tercoreng atau tercemar karena kekurangan makanan
ataupun minuman. Ia mau memberikan sikap peduli sebagai bagian dari pewartaan
terselubung bahwa ia adalah ibu Tuhan. Ia sadar bahwa keterpilihannya sebagai
ibu Tuhan, tidak menjadikan ia menutup diri terhadap sesama melainkan membangun
relasi yang intens dengan orang lain bahkan mengambil bagian dalam kekurangan
yang mereka alami. Pengalaman di pesta perkawinan di Kana, menjadikan ibu Tuhan
kaya makna karena dari pesta itulah mereka dikenal dan ke-allah-an Yesus
perlahan mulai ditunjukkan di hadapan publik. Hanya saja bahwa apa yang
dilakukan oleh Yesus, para pelayanlah yang tahu.
“Mereka
kehabisan anggur.” Ini merupakan bahasa permintaan sekaligus Maria ‘mengemis’
kepedulian Yesus untuk turut terlibat dalam suasana kekurangan itu. Dalam pesta
itu, selain menghadirkan keallahan Yesus, tetapi juga mengasah kesadaran Yesus
untuk terus peka terhadap persoalan yang tengah di hadapi oleh setiap manusia.
“Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Di sini Yesus masih
merasa rendah diri, belum memiliki sesuatu untuk bisa diberikan kepada tuan
pesta sebagai bentuk sumbangan dalam mengatasi persoalan. Yesus tentu tahu, apa
yang harus dilakukan berdasarkan suruhan ibunya. Tetapi yang tetap menjadi
persoalan di sini adalah bagaimana ia (Yesus) menyadari diri untuk melakukan
sebuah mukjizat.
Jalan
satu-satunya yang dilakukan adalah mengadakan tanda heran atau mukjizat sebagai
bagian penting dari pewartaannya tentang kerajaan Allah. Dalam kondisi yang
serba dilematis, serba kekurangan, Yesus menunjukkan sebuah jalan keluar dengan
kekuatan doa. Di hadapan para pelayan dan tempayan yang berisi air, Yesus
berdoa agar air itu bisa berubah menjadi anggur. Doa menjadi solusi dan
kekuatan dalam mematahkan pelbagai kesulitan yang dihadapi.
Apa
yang dilakukan oleh Yesus tidak terlepas dari peran serta Maria ibunya. Apa
yang dialami oleh Maria yang menjadi puncak kesulitan tuan pesta, juga menjadi
keprihatinan bersama Yesus Putera-Nya. Melalui Maria, semua persoalan hidup
bisa tertampung dan pada akhirnya ia meneruskannya kepada Yesus Puteranya. “Per
Mariam, ad Jesum,” melalui Maria, kita pergi kepada Yesus.***(Valery Kopong)
PASAR DAN TRANSAKSI IMAN
(Sumber inspirasi Markus,
6:53-56)
Sehari
sebelum peristiwa penyembuhan di Genezaret, Yesus sudah memperlihatkan suatu
keajaiban yaitu berjalan di atas air,
menyusuri orang banyak yang naik perahu yang sedang diterpa angin sakal. Apa yang dilakukan Yesus
di hadapan publik, memperlihatkan sesuatu di luar batas kelaziman, di luar
jangkauan ratio manusia dan hal itu
menjadi tanda heran bagi manusia yang melihatnya. Mengapa Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah
dan keselamatan manusia, selalu memperlihatkan mukjizat atau
keajaiban-keajaiban di hadapan publik?
Kehadiran
Yesus di tengah-tengah kelompok yang dijanjikan juru selamat oleh Allah, namun
kelompok yang bersangkutan yakni umat Israel masih menolak kehadiran sang
mesias itu sendiri. Mereka belum percaya pada Yesus yang merupakan utusan Allah
untuk menyelamatkan manusia dan membuka simpul-simpul dosa. Karena itu tanda
heran atau mukjizat yang dilakukan Yesus, selain merupakan bagian penting dalam
pewartaan tentang datangnya kerajaan Allah, tetapi juga mau menggiring
kesadaran manusia yang masih tumpul hatinya dan menolak kehadiran sang juru
selamat, perlahan percaya pada-Nya.
Apa yang dilakukan Yesus terutama menyembuhkan
orang-orang sakit juga mengungkapkan wibawa keallahan-Nya di hadapan dunia.
Tetapi fenomena sosial yang
memperlihatkan lemahnya kepercayaan dunia kepada dirinya, tidak semata-mata
dibantu dengan tindakan menyembuhkan sebagai upaya membangun pamor kemesiasan
tetapi apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan Allah dalam solidaritasnya
dengan mereka yang terpinggirkan. Yesus selalu menempatkan “kepekaan sosial”
sebagai cara paling mudah dalam membangun relasi dengan manusia lain. Karena
melalui kepekaan sosial, terbangunlah rasa toleransi dan tindakan produktif
yang menyelamatkan manusia yang mengalami “tuna di dalam kehidupannya.”
Penginjil Markus secara dramatis
membahasakan keberpihakan Yesus dan kejelian
orang-orang sakit yang selalu membuka diri bagi kehadiran Sang
juruselamat. Orang-orang sakit tidak lagi menunggu kabar, kapan Yesus lewat di
sekitar rumahnya tetapi justeru mereka
yang sakit juga diletakkan di pasar, sebuah ruang terbuka, tempat transaksi
para penjual dan pembeli. Penginjil Markus mau membuka wawasan, membuka cara
baru dalam melihat peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa terbuka di mana
kehadiran Yesus menjadi milik bersama dan tindakannya melampaui semua orang,
siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Pasar,
sebuah ruang publik yang bising, tempat orang-orang melakukan transaksi, Allah
mau hadir bersama putera-Nya untuk memulihkan harapan yang sirna, mengembalikan
yang cacat ke keadaan semula. Di sinilah tempat traksaksi iman antara mereka
yang terluka dan sang juru selamat. Orang-orang sakit membuka diri, membiarkan
keselamatan itu menjalar dalam dirinya dan hanya satu harapan tunggal yang
melekat dalam dirinya yaitu ingin agar kesembuhan bisa terlaksana. Baginya,
hidup sehat merupakan modal utama dan kerinduan terbesar dalam dirinya.
Kehadiran
Yesus dan tindakan nyata Yesus selalu mengutamakan keselamatan manusia.
Keberpihakkan kepada mereka yang tersisih menjadi prioritas perhatian yang
diberikan oleh Yesus. Ketika Yesus melakukan sesuatu kepada orang lain maka
pada saat yang sama ia mengorbankan kepentingan, memangkas egoisme sendiri
untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Di pasar, seperti yang dilukiskan oleh
penginjil Markus, Yesus telah menjumpai begitu banyak orang dengan karakter
yang berbeda-beda. Ia membaurkan diri bahkan menenggelamkan diri dalam
gegap-gempitanya pasar agar Ia bisa menyatu dengan manusia. Dan dalam
keterlibatan yang intens itu, Yesus menghadirkan cinta tanpa batas, melampaui
batas-batas cinta diri. ***(Valery Kopong)
Aniaya pastor, keponakan bupati terancam 2 tahun penjara
04/09/2013
Yohanes Fransiskus Junior Lopez alias Papi (27), pelaku penganiayaan terhadap Pastor Pembantu Paroki Roh Kudus Halilulik, Keuskupan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Romo Oktovianus Neno, Kamis (29/8/2013) dini hari lalu, terancam hukuman dua tahun penjara.
Hal itu disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Resor Belu, Komisaris Johny Muskanan, kepada Kompas.com, Rabu (4/9/2013).
“Tersangka sampai saat ini ditahan di dalam sel Mapolres Belu dan terkait tindakannya itu, pasal yang dikenakan yakni 351 ayat 1 dan 4 KUHP dan pasal 310 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukumannya dua tahun penjara,” kata Muskanan.
Muskanan juga membantah tudingan dari sejumlah pihak yang menilai Polres Belu tidak serius melakukan proses kasus itu lantaran pelaku masih keponakan Bupati Belu, Joachim Lopez. ”Untuk kasus ini, Polres Belu sangat serius, buktinya pelaku tetap ditahan sampai hari ini dan prosesnya tetap berjalan,” kata Muskanan.
Diberitakan sebelumnya, Romo Oktovianus Neno dianiaya dua pemuda mabuk di jembatan Beko, Lokfau, Desa Naitimu, Kecamatan Tasifeto Barat, Kamis sekitar pukul 01.30 Wita.
Romo Oktovianus mengaku bahwa peristiwa itu terjadi saat dia dalam perjalanan pulang dari menghadiri resepsi pernikahan kerabatnya di Nana Rae, Desa Naitimu, sekitar pukul 01.14. Tepat di jembatan Beko, Oktovianus dicegat oleh segerombolan pemuda yang sedang pesta miras.
“Saya pun berhenti dan menurunkan kaca mobil bermaksud menanyakan alasan saya dicegat,” ungkap Romo Oktovianus.
Ia mengaku mengenali dua pemuda yang mendatanginya, yakni Nando Lopez dan Papi Lopez. Tanpa bicara apa-apa, keduanya langsung mematikan dan merampas kunci mobil.
“Saya pun dipukuli oleh keduanya sebanyak tiga kali di bagian kepala hingga mengalami memar dan pusing-pusing,” sambung Romo Oktovianus.
Selain menganiaya, dua pemuda itu juga memakinya. “Saya dimaki oleh Nando dan Papi. Lalu mereka pukul kepala saya sehingga karena sedikit emosi saya lalu balas pukul satu kali,” tuturnya.
Ketika Nando dan Papi memukuli Romo Oktovianus, pemuda-pemuda yang ada di sekitar lokasi diam saja. Nano dan Papi kemudian kabur, sementara Romo Oktovianus kembali ke pastoran.
Kabar pemukulan itu dengan cepat menyebar ke warga. Mendengar tokoh agamanya dianiaya, ratusan warga mendatangi Gereja Roh Kudus Halilulik. Mereka mencari Nando dan Papi.(Sumber:ucanews.com)
Romo Benny: Caleg Kristiani jangan andalkan Gereja untuk meraih suara
Romo Antonius Benny Susetyo meminta para calon legislatif (caleg) Katolik dan Protestan bukan hanya melakukan mobilisasi di dalam lingkungan Gereja, tapi membangun jaringan yang luas di luar Gereja bila mereka ingin merebut suara yang banyak.
“Para caleg Kristen tidak hanya melakukan mobilisasi, tapi harus cerdas dan cerdik serta membangun jaringan yang luas,” kata Romo Benny, yang juga sekretaris eksekutif Komisi Hubungan Antaragama Konferensi Waligereja Indonesia, dalam sebuah seminar tentang Regenerasi Kepemimpinan Nasional di Jakarta, Senin (2/9).
Ia mengamati daftar caleg sebagian besar adalah wajah lama yang saat ini masih berada di legislatif. “Harapan kita sudah tipis karena perubahan tidak akan terjadi karena wajah-wajah lama masih jadi caleg. Untuk itu para caleg baru harus punya strategi agar mereka bisa mengalahkan wajah lama, kalau tidak Anda akan gagal,” kata Romo Benny di hadapan sejumlah caleg Katolik dan Protestan, yang turut hadir dalam seminar itu.
Menurut Romo Benny, untuk memenangkan pemilu anggota legislatif 2014, para caleg tersebut harus kreatif dan inovatif. Cara-cara mendekati konstituen dari kalangan Gereja dinilai tidak akan mampu mengantarkan Anda memenangi pemilihan legislatif.
“Caleg Kristen harus memiliki banyak jaringan dan jangan andalkan di lingkaran Gereja karena jumlah orang Kristen sangat sedikit. Kita harus berani keluar dari lingkungan kekristenan untuk merebut suara dari komunitas lain,” lanjut Romo Benny.
Kalau Anda mau menjadi garam dan terang, ajak Romo Benny, masuklah lintas batas. Gunakanlah media sosial seperti Twitter, Facebook untuk tampilkan diri Anda serta visi dan misi Anda.
Menurut Romo Benny, berpolitik itu sebenarnya tidak identik dengan agama, namun melayani publik dengan gagasan yang aspiratif.
“Maka caleg Kristen harus mampu menunjukkan dirinya bahwa dia mengatasi batas-batas kesukuan dan keagamaan, serta punya integritas dan kemampuan, memiliki kejujuran, serta keberanian untuk merubah pilihan-pilihan,” kata Romo Benny.
Ia menambahkan Anda harus meneladani pelayanan Yesus karena pelayanan Yesus itu tulus dan tidak elitis.
Pengamat Pemilu dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti juga mengatakan selain merindukan pemimpin yang berani membebaskan negara dari utang, rakyat Indonesia membutuhkan caleg yang punya sikap tegas, cerdas, dan bersahaja.
Ray pun berharap, masyarakat tidak memilih caleg 2014 yang hanya ingin meneruskan kebijakan pemerintahan SBY terkait hobi berutang.
“Mulai saat ini masyarakat perlu jeli, kritis dan bersikap hati-hati. Caranya, dengan tidak memilih caleg yang pro asing, yang gemar utang luar negeri, dan tidak punya kemandirian bangsa,” tegasnya.
Acara seminar tersebut ditampilkan sejumlah caleg dari Katolik dan Protestan untuk memperkenalkan diri mereka serta menyampaikan visi dan misi mereka.(Sumber: Ucanews.com)
Langganan:
Postingan (Atom)