02/10/2013
Peserta Youth Camp for Peace
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menekankan
pentingnya menghasilkan generasi muda guna mencetak individu yang cinta
akan perdamaian dan juga berintegritas.
Hal ini tercermin dalam kegiatan
Youth Camp For Peace (YCP) yang digelar belum lama ini di Vihara Vipassana, Lembang, Jawa Barat.
Dalam halaman
blog milik Gayatri Wedotami, salah seorang peserta YCP
yang menuliskan pengalamannya bersama dengan teman-temannya dari berbagai kepercayaan berbeda, pada Senin (30/9).
Acara, yang digelar oleh ICRP bekerja sama dengan Harmoni Mitra Media, diikuti oleh 35 peserta dan 13 panitia.
Para peserta adalah mahasiswa yang berasal dari beberapa perguruan
tinggi berlatar belakang agama di Jabodetabek dan Bandung, antara lain
Universitas Islam Negeri, Sekolah Tinggi Agama Hindu, Sekolah Tinggi
Agama Buddha, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Protestan), Sekolah Tinggi
Filsafat Driyakara (Katolik), Sekolah Tinggi Filsafat Sadra (Syiah),
dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Seperti dilansir
satuharapan.com belum lama ini
, Achmad Nurcholish selaku koordinator Bidang Penelitian ICRP mengatakan YCP
yang
diselenggarakan di Lembang tersebut guna mendidik kader-kader muda yang
ada di bangku kuliah guna menjadi pribadi yang membangun perdamaian.
“Salah satunya kita (ICRP) ingin menyasar anak-anak muda menjadi
peace building dan
conflict resolution. Oleh karena itu YCP ini sebetulnya sebagai rangkaian akhir dari kegiatan
harmony goes to campus,” kata Nurcholish.
Pada halaman pribadi salah seorang peserta YCP
, Gayatri
Wedotami mengatakan pentingnya mengucapkan selamat hari raya kepada
orang yang berbeda agama pun sudah hampir punah disebabkan oleh
pemahaman agama yang sempit.
“Bahkan tradisi datang berkunjung kepada tetangga dan saudara yang
berbeda agama pada hari raya atau hari-hari lainnya untuk bertamu juga
semakin gencar dimusnahkan penganut mayoritas garis keras,” kata Gayatri
dalam uraiannya.
Gayatri mengatakan penting untuk melihat toleransi sebagai upaya
untuk membangun negara ini, karena tidak sepantasnya generasi muda
berdiam diri dan pasif apabila ada tetangga atau teman yang berbeda
keyakinan, tetapi dilarang beribadah.
“Kita bersikap seharusnya, tidak cuek, diam menunggu tindakan
pemerintah atau aparat yang berwenang, namun kita aktif untuk
menggelorakan perdamaian, dan melakukan apa yang bisa kita lakukan,”
lanjut Gayatri.
Gayatri mengatakan bahwa salah satu keunikan yang terjadi dalam acara
ini, yakni pada pertemuan ini, 35 anak muda ini, beserta sekitar 13
orang panitia tidaklah tabu dalam membicarakan dan mempraktikkan
keyakinan mereka masing-masing.
“Anak muda Katolik Roma dan Kristen Ortodoks dapat saling bertanya
apa perbedaan keyakinan di antara keduanya, anak Protestan dapat
bertanya apa bedanya Sunni, Syiah dan Ahmadiyah, dan anak Muslim juga
dapat bertanya apa bedanya Hindu dengan Buddha, dan seterusnya,” menurut
Gayatri.
Gayatri mengatakan bahwa saat ini penting bagi kita untuk melihat
bahwa ada kepercayaan lain yang saat ini tidak tercatat di Kementerian
Agama, seperti Baha’i dan Sapto Dharmo dapat mengenal dari penganutnya
langsung. Tidak hanya tentang kepercayaan tersebut, tetapi ritual di
kamar peserta pun demikian, Gayatri mendeskripsikan di kamar peserta,
misalnya yang menarik, anak-anak Muslim sholat menghadap kiblat ke arah
barat sambil memunggungi anak-anak Kristen Ortodoks yang juga sedang
sholat menghadap ke arah timur.
Caranya pun hampir mirip, bahkan tidak semua orang Kristen mengetahui
hal ini. Selama dua pagi anak-anak muda ini bisa mencoba bagaimana
rasanya ikut bermeditasi bersama teman-teman Buddhis mereka di salah
satu candi, duduk diam selama 20-30 menit, kemudian berolahraga pagi dan
belajar sedikit kungfu dari seorang mahaguru kungfu yang beragama
Kristen Protestan.