Oleh: Valery Kopong*
PEMILU sebagai
sebuah “mesin demokrasi” yang mengelola dan menghitung suara, sesungguhnya
menjadi pesta perhelatan bagi bangsa yang tengah mencari figur untuk memimpin
negara. Ketika negara sedang dalam keadaan “kehilangan harapan” dan tidak
memiliki lagi animo untuk memilih, maka jalan pintas yang ditempuh adalah tidak
memilih alias golput. Kondisi seperti ini tidak bisa dipungkiri pada setiap
kali menyelenggarakan pemilu. Apakah memilih untuk tidak memilih (golput)
merupakan jalan terbaik dalam kehidupan berdemokrasi? Ataukah masyarakat harus
memilih namun pada akhirnya kondisi bangsa tetap morat-marit seperti
sebelumnya?
Walaupun seruan itu lebih terfokus
pada “ruang pengharapan” untuk masa yang akan datang, namun pijakannya tetap pada
pemilu yang lebih realistis dan elegan. Dengan demikian, ukuran sebuah
demokrasi yang dewasa dan pemilu yang berbobot tidak hanya berhenti pada tempat
pemungutan suara, tetapi masyarakat perlu mengkawal figur-figur yang dijagokan
dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan suara berarti ada
kemungkinan untuk setiap pemilih menggantungkan harapan pada “pundak” sang
pemimpin.
Ketika sebagian besar masyarakat
menjatuhkan pilihan untuk tidak memilih, para politikus ramai-ramai memandang
situasi ini sebagai bentuk kezaliman politik dan sekaligus kritik atas proses
demokratisasi maka “mungkin” seruan sang gembala di atas menjadi sangat menarik
dan inspiratif walaupun seruan itu menggema, berbasis dalam lingkungan Gereja. Keberadaan
Gereja yang memposisikan diri sebagai minoritas, namun perlu membangun kembali
nuansa peradaban bangsa dengan memanfaatkan hak pilih sebagai sebuah alternatif
dalam proses pembenahan hidup berdemokrasi. Kepedulian Gereja merupakan bentuk
apresiasi positif dan seruan moral politik sebagai bagian dalam penataan hidup
berbangsa dan bernegara.
Walaupun keterlibatan Gereja sebatas
“pinggiran politik praktis” tetapi seruan yang dilantunkan tidak berada pada
pinggiran masyarakat. Seruannya menusuk masuk ke dalam realitas sosial-politik,
di mana masyarakat sedang menunggu dengan harapan yang tidak menentu.
Mungkinkah masyarakat luas menerima seruan Gereja ini sebagai langkah awal
dalam membangun peradaban politik?
Beberapa waktu lalu, mantan presiden
Gus Dur, menyerukan kepada publik untuk memboikot pemilu 2009. Seruan Gus Dur
ini dilandasi oleh rasa kecewa terhadap partai yang kalah di hadapan Mahkamah
Konstitusi. Apakah dilandasi oleh rasa kecewa memacu seorang Gur Dur untuk
memboikot pemilu? Apakah tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk
mengungkapkan rasa kecewa?
Apabila dicermati dua hal di atas
dan dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan tertemukan persoalan yang
sangat pelik. Masyarakat sendiri dibingungkan oleh seruan-seruan dari lembaga
ataupun orang-orang yang berpengaruh. Kebingungan barangkali menjadi faktor
utama dalam menentukan proses penilaian dan menentukan sikap yang tegas. Masyarakat
sendiri harus jernih melihat dan secara bijak dalam mengambil keputusan sebelum
memberikan hak-hak politik pada pemilu mendatang. Di sini, masyarakat sendiri
menilai dan secara bebas menentukan arah perjalanan hidup bersama dalam sebuah
perahu yang bernama “Indonesia.” Kebebasan dalam menentukan sikap politik terhadap
dua model seruan di atas, bukan cuma terlepas dari suatu ikatan, melainkan
mengikat diri pada sesuatu untuk sesuatu. Mengikat diri di sini lebih
dimaksudkan dengan memberikan keputusan final dalam menyumbangkan suara pada
pemilihan umum nanti.
Suara yang disumbangkan pada pemilu
dapat memberikan denyut nadi peradaban dan sejarah bangsa ini akan terus
berlanjut karena kebulatan suara masyarakat. Seperti para donatur yang
menyumbangkan darah untuk mereka yang membutuhkan pada saat-saat kritis dan
pada akhirnya menyelamatkan nyawa manusia, demikian juga dalam kehidupan
berbangsa, pemilu menjadi momentum berharga, karena pada saat itu, para
“donatur” (masyarakat pemilih) memberikan sebagian “darah” (suara) untuk
menyelamatkan “nyawa” bangsa yang masih terkapar ini.
Gereja, melalui suara sang gembala (imam)
seakan memberikan “suntikan” melalui “jarum seruan” sebagai cara terbaik dalam
upaya menyelamatkan bangsa ini. Proses penyelamatan bangsa, dimulai dari
lingkup paling kecil yaitu paroki. Lewat basis utama Gereja ini, tertanam
sebuah komitmen untuk membangun peradaban, sambil menunggu sang penyelamat
(mesias) atau pemimpin yang dirindukan oleh bangsa ini. Bagaimana masyarakat
melihat hal berpikir dan mengungkapkan pikiran sebagai satu bentuk kerasulan,
sebagai satu bentuk komitmen terhadap persoalan kemasyarakatan dan Gereja?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar