(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji
Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus
mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri
khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan
sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya.
Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun
jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang
berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang
Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata
bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan
sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui
puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan
pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi
kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan
diri melalui puisi?
Dalam
puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara
mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan
memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup
menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata
seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata
air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami
berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan
perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita
kami.
Penggalan
puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui
sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin
menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika
berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika
segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu.
Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan
yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air
mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri
ataukah meminjam air mata orang lain?
Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak
bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia
ini.