Kamis, 31 Oktober 2013

AIR MATA KEBERPIHAKKAN

(Telaah puisi kontemporer dari sudut sosiologi Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?  
           Dalam puisi yang berjudul “Tanah Air Mata” menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan penderitaan yang dihadapi bangsa. Melalui puisi, ia hadir dan memberikan peristiwa derita ini menjadi pengalaman bernyawa serta sanggup menggugah kesadaran untuk memahami urat nadi kehidupan. Puisi Tanah Air Mata seakan menjadi “keranjang sampah, tempat segala derita dititipkan. Tanah air mata tanah tumpah dukaku// Mata air air mata kami//Air mata tanah air kami. Di sinilah kami berdiri//Menyanyikan air mata kami.Di balik gembur subur tanahmu//Kami simpan perih kami//Dibalik etalase megah gedung-gedungmu//Kami coba sembunyikan derita kami.
            Penggalan puisinya di atas lebih menunjukkan sebuah keberpihakan yang mendalam melalui sorot mata air mata. Air mata menjadi simbol kekuatan bagi mereka yang ingin menemukan sebuah kebebasan. Air mata memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Air mata menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan diri dari permasalahan dan menemukan jalan buntu. Air mata menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah di hadapi anak bangsa. Tetapi mengapa mereka sanggup meneteskan air mata? Apakah mereka yang menangis, berhasil mengeluarkan air matanya sendiri ataukah meminjam air mata orang lain?  Air mata yang diteteskan adalah air mata penuh sinis. Mereka (anak bangsa) sinis terhadap tindakan yang eksploitatif dan koruptif dari bangsa Indonesia ini. 
           

Sabtu, 26 Oktober 2013

PEMILU DAN HARAPAN MESIANIK



Oleh: Valery Kopong*

PEMILU sebagai sebuah “mesin demokrasi” yang mengelola dan menghitung suara, sesungguhnya menjadi pesta perhelatan bagi bangsa yang tengah mencari figur untuk memimpin negara. Ketika negara sedang dalam keadaan “kehilangan harapan” dan tidak memiliki lagi animo untuk memilih, maka jalan pintas yang ditempuh adalah tidak memilih alias golput. Kondisi seperti ini tidak bisa dipungkiri pada setiap kali menyelenggarakan pemilu. Apakah memilih untuk tidak memilih (golput) merupakan jalan terbaik dalam kehidupan berdemokrasi? Ataukah masyarakat harus memilih namun pada akhirnya kondisi bangsa tetap morat-marit seperti sebelumnya?
           

Rabu, 23 Oktober 2013

Bisakah Paus Fransiskus angkat kardinal perempuan?

                                                                                                    22/10/2013
Bisakah Paus Fransiskus angkat kardinal perempuan? thumbnail

Paus Fransiskus mengatakan berulang kali bahwa ia ingin melihat peran yang lebih besar bagi kaum perempuan dalam Gereja Katolik, dan beberapa orang berpendapat bahwa ia bisa mengambil langkah besar dengan mengangkat perempuan menjadi kardinal.
Ide ini terus dibicarakan, yang dipicu oleh sebuah artikel bulan lalu di sebuah surat kabar Spanyol dimana Juan Arias, seorang mantan imam menulis dari Brasil, bahwa “ide itu bukan sebuah lelucon. Ini adalah sesuatu yang dipikirkan oleh Paus Fransiskus sebelumnya: pengangkatan kardinal wanita”.
Arias mengutip seorang imam Yesuit yang tidak menyebut namanya -  mengatakan: “Paus ini tidak akan ragu mengangkat seorang kardinal wanita.  Dan dia bisa menjadi Paus pertama yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan Paus baru.”

Kamis, 17 Oktober 2013

MENCARI KASIH SAYANG YANG HILANG



                Ketika mengunjungi  Yayasan Sayap Ibu, sebuah yayasan yang menaungi panti sosial ini, terlihat ada yang  menyedihkan. Dari guratan wajah anak-anak yang dibuang orang tuanya, sepertinya mereka memendam sebuah pertanyaan sederhana, “mengapa kami dilahirkan?” Pertanyaan ini sepertinya menggugat dan menggugah kesadaran setiap orang yang mengunjungi  panti sosial ini. Kawasan yang dijadikan sebagai panti sosial ini agak sepi, jauh dari keramaian. Letaknya di Graha Bintaro-Tangerang Selatan, di hamparan tanah yang cukup luas. Di area inilah anak-anak mengalami keterasingan diri namun tidak bisa memberontak karena cacat yang dideritanya.
                Ada berbagai macam penyakit yang diderita anak-anak bahkan membuat mereka cacat. Atas dasar kecacatan inilah yang mendorong orang tua mereka untuk membuang mereka  dari keluarga. Barangkali sakit yang diderita itu membawa beban bagi orang tua dan karenanya mereka disingkirkan secara tragis dari keluarga.  Kebanyakan mereka menderita  bisu, tuli dan cacat yang lain, yang sulit berkomunikasi dengan para pengunjung. Namun dari sorot mata mereka, dapat dibaca bahwa mereka butuh untuk didampingi, butuh kasih sayang terutama dari orang tua.
               

MENJADI PEJUANG, BERANI MENANGGALKAN SIKAP PRIMORDIAL




Setiap tahun, tepatnya  tanggal 17 Agustus,  bangsa Indonesia merayakan hari  kemerdekaan. Tahun ini  bangsa Indonesia merayakan usia kemerdekaan yang ke 68, sebuah usia,  yang kalau disejajarkan dengan seorang manusia, termasuk usia sepuh.  Di setiap lingkungan pendidikan, instansi pemerintah dan masyarakat  secara keseluruhan, berusaha untuk menghidupkan pesta kemerdekaan ini dengan acara-acara yang gemilang. Tetapi apakah, acara yang dilakukan ini merupakan sebuah seremoni tanpa makna? Apa arti kemerdekaan bagi generasi kita yang tidak mengalami secara langsung bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah? Apa sumbangan yang diberikan oleh orang-orang Katolik, baik pada zaman perjuangan dalam memperoleh kemerdekaan maupun pada saat sekarang, ketika kita bebas dari penjajah? Apa yang kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu?
           

“RUANG KERJA SEORANG PENYULUH AGAMA KATOLIK ADA DI RUANG TERBUKA”



Para Penyuluh  Agama  Katolik yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil  (PNS) di bawah Bimas Katolik,  Kementerian Agama RI, memegang peranan penting karena setiap hari selalu berhadapan dengan kelompok masyarakat  yang didampinginya. Sebagai  ‘ujung  tombak’  Bimas Katolik, para penyuluh perlu terus belajar untuk membekali diri dengan pengetahuan dan perkembangan zaman yang selalu mengalami perubahan. Menyadari akan pentingnya pembekalan dan persiapan diri  yang matang maka Bimas Katolik RI menyelenggarakan kegiatan penyusunan materi penyuluhan sebagai pegangan oleh para Penyuluh  Agama  Katolik dalam melakukan kegiatan pembinaan. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 25-28 Agustus di Hotel Papyrus,  Bogor-Jawa Barat, mengusung tema: “Dengan Materi Penyuluhan yang Berkualitas Kita Wujudkan Masyarakat yang Beriman dan Rukun.”
               

Selasa, 15 Oktober 2013

DOA ORANG YANG TERLUKA

Judul Buku    : Doa Yang Menyembuhkan
Penulis            : Jean Maalouf
Penerjemah    : Wilhelmus David
Penerbit          : Orbit Media, Tangerang, 2013
ISBN               : 978-602-17548-8-7
Doa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk menyembuhkan,  mengubah dan membuat mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa, “ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.
            Dalam doa-doa Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita gandrungi? Doa Benediktin, yang pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia.   Tipe doa ini menyentuh semua tipe kepribadian: lectio menyentuh pikiran kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.     
Selain doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih  menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah, terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan alam.

TERSENYUM DALAM LUKA YANG MENGESANKAN

Judul               : Pengampunan Yang Menyembuhkan
Penulis             : Jean Maalouf  
Penerjemah      : Wilhelmus David  
Penerbit           : Orbit Media
Tebal               : 122 halaman
ISBN               : 978-602-17548-9-4
Ketika Paus Yohanes Paulus II ditembak, sepertinya tidak ada dendam yang tumbuh dalam dirinya. Setelah sembuh, beliau malah mengunjungi si penembak. Dunia menjadi heran penuh tanya, mengapa ia yang terluka harus memulai menumbuhkan rasa maaf kepada orang yang menembaknya? Tindakan mendiang ini tidak merupakan tindakan simbolik tetapi mewujudnyatakan tindakan  kasih yang pernah diperlihatkan oleh Sang Guru, Yesus Kristus. Yesus tidak menaruh dendam terhadap mereka yang menganiaya, bahkan Yudas Iskariot  yang datang membawa para algoju hendak menangkapnya, Yesus masih menyapanya sebagai sahabat. “Sahabat, untuk maksud itukah engkau datang?”
Pengampunan dalam lingkup pemikiran orang-orang Kristiani merupakan landasan utama dalam menghidupi kehidupan ini. Yesus yang telah membawa hukum kasih, menjadikan setiap pengikut-Nya meneladani apa yang telah dilakukan. Apakah orang-orang Katolik dan orang-orang Kristiani secara umum sudah mewujudkan kasih dan memberi pengampunan kepada orang lain ketika orang lain melakukan kesalahan terhadapnya? Mengampuni orang lain, seperti yang dianjurkan oleh Yesus terkesan gampang tetapi ini menjadi tantangan berat bagi orang-orang Katolik karena tidak mudah mengampuni orang-orang yang telah melukai hati kita.

Senin, 14 Oktober 2013

SALAM




                Salam disampaikan imam sambil membuka tangan kepada umat beriman, sesudah membuat tanda salib; dengan rumusan: “Tuhan bersamamu” dan umat beriman berjawab: “Dan bersama rohmu.” Makna pokok salam tersebut ialah untuk menyatakan bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah mereka dan juga mengungkapkan misteri Gereja yang sedang berkumpul (PUMR 50) maksudnya pada saat melaksanakan dialog salam imam dan jawaban dari pihak umat ini, imam dan umat sedang menyadari bahwa Tuhan benar-benar hadir di tengah kita dan jawaban dari pihak umat memperlihatkan misteri Gereja yang sedang berkumpul.
                Cara pemimpin memberikan salam dan cara umat menanggapi salam ini sangat penting. Salam pada hakikatnya harus komunikatif: harus benar-benar ada komunikasi antara pemberi salam (imam) dan penerima salam (umat). Dari pihak imam, komunikasi diungkapkan lewat: pandangan mata, mimic, tata gerak tangan. Semua ini harus benar-benar menopang kata-kata salam.
               

TANDA SALIB




                Tanda salib adalah tata gerak khas katolik setiap kali mengawali doa atau ibadat; juga ketika jemaat katolik mengawali Perayaan Ekaristi. Sambil berdiri, imam bersama seluruh umat yang hadir memulai perayaan Ekaristi dengan membuat tanda salib dengan bersuara lantang: “Dalam/Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Umat juga membuat tanda salib dan menjawab: “Amin.” Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban ‘Amin’ ini harus mantap.
                Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin tidak boleh memborong sampai dengan “Amin.” Karena kalau demikian, ia menggusur hak umat untuk mengamini dan dapat ditafsirkan bahwa ia tidak menghendaki peranserta umat untuk ikut berpartisipasi.
               

PENGHORMATAN ALTAR DAN PENDUPAAN



                Penghormatan Altar dilakukan oleh semua petugas liturgi dengan membungkuk khidmat (PUMR 49). Akan tetapi, apabila di belakang altar terdapat Sakramen Mahakudus di dalam tabarnakel, semua petugas liturgi berlutut (PUMR 274). Altar dihormati karena altar melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Tuhan yang telah wafat dan bangkit akan hadir di atas altar dan dari meja ini Dia akan memberikan diri-Nya kepada umat beriman dalam rupa makanan dan minuman ekaristis.
                Secara khusus imam menghormati altar dengan mencium altar. Mencium altar ini menjadi lambang untuk memberi salam dan penghormatan kepada Kristus Sang Imam Agung dan Sang Tuan Rumah Perayaan Ekaristi. Penghormatan altar dengan mencium altar sudah dipraktekan Gereja sejak abad IV. Tindakan imam yang mencium altar itu bukan hanya bersifat pribadi melainkan bersifat mewakili seluruh jemaat yang hadir. Maka, umat hendaknya menggabungkan diri dalam penghormatan kepada Kristus itu secara batin (dalam hati).
               

PERARAKAN MASUK DAN NYANYIAN PEMBUKA



Perarakan masuk para pelayan dan petugas sebagai tanda diawalinya perayaan Ekaristi ini disambut oleh umat beriman dengan berdiri sambil diiringi dengan nyanyian pembuka.
                Pada hari Minggu dan hari raya, perarakan masuk ini diiringi dengan nyanyian pembuka, yang memiliki beberapa fungsi:
  1. Mengiringi perarakan para petugas liturgy (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung.
  2. Membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
  3. Mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.
Berkaitan dengan fungsi kedua: membina persekutuan umat, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1.       Tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. “Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dna membangun sikap batin yang sama pula.”
2.       Terlibat: seluruh umat menyanyikan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor.
3.       Berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan.

Persiapan Menjelang Ekaristi



Persiapan menjelang perayaan Ekaristi  sebaiknya dengan sengaja diciptakan. Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2005 juga menyarankan adanya persiapan sebelum perayaan Ekaristi dimulai. Dikatakan: “Menjelang Perayaan Ekaristi, seyogyanya diadakan persiapan dengan menciptakan suasana ibadat yang sesuai, baik di ruang ibadat (oleh umat) maupun (oleh imam, diakon dan para petugas: asisten imam, lektor, pemazmur dan putra altar).”
                Bentuk persiapan itu bisa ditafsirkan beragam, misalnya secara fisik: busana liturgy dan perlengkapan liturgy yang berkaitan. Maksudnya tugas yang berbeda-beda dalam perayaan Ekaristi ditunjukkan dengan busana liturgi  yang berbeda-beda pula. Bentuk dan model serta kelengkapan busana liturgi tidak dibuat sesuai selera masing-masing, melainkan ada aturan baku dalam Gereja, karena busana liturgi bukan sekedar mode melainkan mengandung  arti simbolis yang sangat dalam. Demikian pula dengan warna busana liturgi disesuaikan dengan karakter perayaan yang dirayakan.
                Namun yang  utama dari berbagai persiapan menjelang perayaan Ekaristi adalah menciptakan suasana hening secara batin “agar seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.” (Pedoman Umum Misale Romawi-PUMR 45).

Minggu, 13 Oktober 2013

Romo Magnis: Toleransi harus mulai diajarkan


Romo Magnis: Toleransi harus mulai diajarkan thumbnail


09/10/2013
Romo Franz Magnis Suseno SJ

Ditemukannya sejumlah laporan dimana intoleransi dan fanatisme terhadap agama diajarkan di sekolah, dinilai guru besar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Romo Franz Magnis-Suseno SJ sebagai kondisi dimana pemerintah wajib memulai pendidikan dengan keutamaan ke arah toleransi.
Menurut Rohaniawan Katolik ini, hal itu perlu dimulai agar fenomena yang membahayakan ini tidak menyebar yang dapat menyebabkan generasi muda kehilangan pandangan mengenai indahnya kebersamaan dalam keberagaman.
Menurut Romo Magnis, mengajarkan nilai toleransi harus dianggap sebagai sebuah keharusan.
“Di situ ada dua poin yang penting. Yang pertama bahwa toleransi bukan berarti mengatakan semua keyakinan sama dan sebagainya. Dan yang kedua, belajar menerima bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda. Nah yang dua hal itu yang harus diajarkan pada anak (sejak) kecil,” ujar Romo Magnis seperti dilansir jawaban.com.
Menanamkan nilai menghargai setiap orang dengan keberagaman dan perbedaaan sejak dini kepada anak akan membuat mereka tidak terpengaruh terhadap hasutan-hasutan menyesatkan yang cenderung fanatik. Untuk itu pemerintah pun wajib membuat program dimana nilai toleransi diutamakan diajarkan di setiap sekolah.

Keuskupan Tanjungkarang resmi memiliki uskup baru


Keuskupan Tanjungkarang resmi memiliki uskup baru thumbnail


10/10/2013
Mgr Yohanes Harun Yuwono

Gereja Katolik Keuskupan Tanjungkarang, Lampung, hari ini (10/10) secara resmi dipimpin uskup baru dengan ditahbiskannya Pastor Yohanes Harun Yuwono.
Setelah lebih dari  setahun keuskupan itu mengalami kekosongan,  pasca  pensiunnya Mgr Andreas Henrisusanto SCJ pada 6 Juli 2012.
Pada 19 Juli 2013, Paus Fransiskus mengangkat Pastor  Yuwono sebagai Uskup Tanjungkarang, yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra ini.
Acara penahbisan uskup akan diadakan di Wisma Albertus, Pahoman, oleh Mgr Aloysius Sudarso SCJ,  uskup agung Palembang, yang juga akan dihadiri para uskup dari seluruh tanah air.
Uskup Yuwono  lahir di Pringsewu, Lampung, pada 4 Juli 1964 dan ditahbiskan menjadi imam pada 8 Desember 1992 untuk keuskupan Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Saat diangkat menjadi uskup, ia menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar dan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St. Yohanes Pematangsiantar, Sumatra Utara.
Ia pernah berkarya sebagai pastor paroki di Paroki St. Perawan Maria Pengantara Segala Rahmat Sungailiat, Bangka, Keuskupan Pangkalpinang.
Populasi di keuskupan itu lebih dari 70 persen adalah para migran dari Jawa, Madura, dan Bali, sedangkan sisanya adalah warga asli Lampung, dan migran dari Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan.
Kehadiran Gereja Katolik di Lampung ditandai dengan kedatangan misionaris Belanda Pastor H.J.D. van Oort SCJ pada 16 Desember 1927. Sebelumnya umat Katolik dilayani oleh Vikariat Apostolik Palembang.
Tahun 1961 Lampung menjadi sebuah keuskupan, dan Mgr Albertus Hemelink Gentiaras menjadi uskup pertama. Keuskupan itu kini memiliki 20 paroki, dengan jumlah umat Katolik sekitar 80.000 jiwa.

Kamis, 03 Oktober 2013

Paus Fransiskus bertemu dewan kardinal untuk reformasi Gereja


Paus Fransiskus bertemu dewan kardinal untuk reformasi Gereja thumbnail


03/10/2013












Delapan kardinal yang dipilih oleh Paus Fransiskus untuk menasehatinya tentang reformasi Kuria Romawi dan pemerintahan Gereja Katolik bertemu Paus untuk pertama kalinya.
Pertemuan itu merupakan sebuah langkah yang sudah dinantikan selama enam bulan kepausannya.  Para kardinal  itu terbang ke Roma dari seluruh penjuru dunia untuk memberikan Paus itu dengan ide-ide bagaimana mereformasi Vatikan dan Gereja di seluruh dunia.
Kelompok itu secara resmi dinamakan Dewan Kardinal atau disebut “G8 kepausan” – sebagai langkah “revolusioner” ketika dibentuk pada April menyusul pemilihannya.
Seorang pengamat mengatakan bahwa  gaya kepemimpinnannya ini tampak jelas lebih bersifat kolegal. Ini adalah “langkah paling penting dalam sejarah Gereja selama 10 abad terakhir”.
Namun, juru bicara Vatikan, Pastor Federico Lombardi SJ, pada Senin menegaskan  meskipun para kardinal dipanggil untuk menasehati Paus, tidak ada pertanyaan tentang siapa yang akan memutuskan.
“Dewan menyarankan, dan yang memutuskan adalah Bapa Suci,” katanya.
Delapan kardinal itu berasal dari seluruh dunia, seperti Amerika Serikat, Jerman, Australia, India dan Republik Demokratik Kongo. Semua mereka, kata Pastor Lombardi, memiliki “pengalaman yang luas terkait masalah Gereja”.
Sebuah keputusan pribadi yang dikenal sebagai “chirografo” yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus mengatakan tugas resmi mereka adalah untuk menasehatinya tentang “pemerintahan Gereja universal” dan membantunya merevisi Pastor Bonus, konstitusi apostolik tentang Kuria Romawi yang disusun oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1988.
Pastor Lombardi mengatakan “tidak ada keputusan mengejutkan” yang diharapkan dari pertemuan pertama ini, yang akan berlangsung hingga Kamis sore.
Dalam wawancara baru-baru ini dengan Jurnal Yesuit Italia La Civilta Cattolica, Paus Fransiskus mengatakan reformasi akan membutuhkan waktu yang lama.
Selama pertemuan tiga hari itu, para kardinal akan bertemu dengan Paus dan sekretarisnya di perpustakaan pribadi di istana apostolik. Peran Paus terutama mendengarkan apa yang para kardinal itu sampaikan, kata Pastor Lombardi.
Semua anggota dewan itu tinggal bersama Paus Fransiskus di Domus Sanctae Marthae Vatikan.
Selain Kardinal Maradiaga, para kardinal itu: George Kardinal Pell, Uskup Agung Sydney, Sean Kardinal O’Malley, Uskup Agung Boston, Laurent Kardinal Monsengwo Pasinya, Uskup Agung Kinshasa, Kongo, Giuseppe Kardinal Bertollo, gubernur negara Kota Vatikan, Francisco Javier Kardinal Errazuriz Ossa, Uskup Agung Emeritus Santiago, Oswald Kardinal Gracias, Uskup Agung Mumbai, dan Reinhard Kardinal Marx, Uskup Agung Munich dan Freising.
Sumber: Pope Francis to meet cardinals for historic talks on church reforms

Penolakan lurah beragama Kristen dinilai diskriminasi


Penolakan lurah beragama Kristen dinilai diskriminasi thumbnail


22/08/2013
Susan Jasmine Zulkifli

Penolakan sebagian warga terhadap lurah perempuan dan beragama Protestan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dinilai sebagai bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan agama.
Kasus diskriminasi berlapis tersebut dianggap merupakan ujian kedua bagi pasangan Jokowi-Ahok dalam mengatasi persoalan intoleransi agama di Jakarta.
Sebelumnya, pada Februari 2013, kasus intoleransi di Tambora, Jakarta Barat, juga belum diatasi dengan baik.
“Jokowi-Ahok harus menegaskan posisinya bahwa tata kelola pemerintahan dijalankan berdasarkan Konstitusi RI dan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi, Kamis (22/8).
Hendardi menjelaskan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan tertentu. Jika aspirasi intoleransi warga dipenuhi Jokowi, maka menurutnya, dipastikan virus intoleransi serupa akan menyebar ke berbagai wilayah.
Diberitakan, Pemprov DKI Jakarta akan mempertimbangkan permintaan warga Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, soal penolakan kepemimpinan lurah non-Muslim, Susan Jasmine Zulkifli.
Lurah baru ini merupakan salah satu lurah yang lolos dalam lelang terbuka pemilihan lurah, beberapa waktu lalu, dan telah dilantik pada Juni lalu.
Seperti dirilis The Jakarta Post, Senin (19/8), beberapa warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan menuntut pemerintah DKI Jakarta untuk mengganti lurah mereka yang baru.
Alasan warga adalah karena lurah baru itu non-Muslim, sedangkan kecamatan yang dipimpinnya mayoritas adalah umat Muslim. Jadi adalah sebuah keanehan jika lurah non-Muslim akan menghadiri berbagai aktivitas keagamaan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama juga mengalami penolakan, hanya karena ia berasal dari non-Muslim.
Foto: The Jakarta Post

Orang muda lintas iman dilatih menjadi pribadi yang cinta damai dan berintergritas


Orang muda lintas iman dilatih menjadi pribadi yang cinta damai dan berintergritas thumbnail


02/10/2013
Peserta Youth Camp for Peace

Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menekankan pentingnya menghasilkan generasi muda guna mencetak individu yang cinta akan perdamaian dan juga berintegritas.
Hal ini tercermin dalam kegiatan Youth Camp For Peace (YCP) yang digelar belum lama ini  di Vihara Vipassana, Lembang, Jawa Barat.
Dalam halaman blog milik Gayatri Wedotami, salah seorang peserta YCP yang menuliskan pengalamannya bersama dengan teman-temannya dari berbagai kepercayaan berbeda, pada Senin (30/9).
Acara, yang digelar oleh ICRP bekerja sama dengan Harmoni Mitra Media, diikuti oleh 35 peserta dan 13 panitia.
Para peserta adalah mahasiswa yang berasal dari beberapa perguruan tinggi berlatar belakang agama di Jabodetabek dan Bandung, antara lain  Universitas Islam Negeri, Sekolah Tinggi Agama Hindu, Sekolah Tinggi Agama Buddha, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Protestan), Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara (Katolik), Sekolah Tinggi Filsafat Sadra (Syiah), dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Seperti dilansir satuharapan.com belum lama ini, Achmad Nurcholish selaku koordinator Bidang Penelitian ICRP mengatakan YCP yang diselenggarakan di Lembang tersebut guna mendidik kader-kader muda yang ada di bangku kuliah guna menjadi pribadi yang membangun perdamaian.
“Salah satunya kita (ICRP) ingin menyasar anak-anak muda menjadi peace building dan conflict resolution. Oleh karena itu YCP ini sebetulnya sebagai rangkaian akhir dari kegiatan harmony goes to campus,” kata Nurcholish.
Pada halaman pribadi salah seorang peserta YCP, Gayatri Wedotami mengatakan pentingnya mengucapkan selamat hari raya kepada orang yang berbeda agama pun sudah hampir punah disebabkan oleh pemahaman agama yang sempit.
“Bahkan tradisi datang berkunjung kepada tetangga dan saudara yang berbeda agama pada hari raya atau hari-hari lainnya untuk bertamu juga semakin gencar dimusnahkan penganut mayoritas garis keras,” kata Gayatri dalam uraiannya.
Gayatri mengatakan penting untuk melihat toleransi sebagai upaya untuk membangun negara ini, karena tidak sepantasnya generasi muda berdiam diri dan pasif apabila ada tetangga atau teman yang berbeda keyakinan, tetapi dilarang beribadah.
“Kita bersikap seharusnya, tidak cuek, diam menunggu tindakan pemerintah atau aparat yang berwenang, namun kita aktif untuk menggelorakan perdamaian, dan melakukan apa yang bisa kita lakukan,” lanjut Gayatri.
Gayatri mengatakan bahwa salah satu keunikan yang terjadi dalam acara ini, yakni pada pertemuan ini, 35 anak muda ini, beserta sekitar 13 orang panitia tidaklah tabu dalam membicarakan dan mempraktikkan keyakinan mereka masing-masing.
“Anak muda Katolik Roma dan Kristen Ortodoks dapat saling bertanya apa perbedaan keyakinan di antara keduanya, anak Protestan dapat bertanya apa bedanya Sunni, Syiah dan Ahmadiyah, dan anak Muslim juga dapat bertanya apa bedanya Hindu dengan Buddha, dan seterusnya,” menurut Gayatri.
Gayatri mengatakan bahwa saat ini penting bagi kita untuk melihat bahwa ada kepercayaan lain yang saat ini tidak tercatat di Kementerian Agama, seperti Baha’i dan Sapto Dharmo dapat mengenal dari penganutnya langsung.  Tidak hanya tentang kepercayaan tersebut, tetapi ritual di kamar peserta pun demikian, Gayatri mendeskripsikan di kamar peserta, misalnya yang menarik, anak-anak Muslim sholat menghadap kiblat ke arah barat sambil memunggungi anak-anak Kristen Ortodoks yang juga sedang sholat menghadap ke arah timur.
Caranya pun hampir mirip, bahkan tidak semua orang Kristen mengetahui hal ini. Selama dua pagi anak-anak muda ini bisa mencoba bagaimana rasanya ikut bermeditasi bersama teman-teman Buddhis mereka di salah satu candi, duduk diam selama 20-30 menit, kemudian berolahraga pagi dan belajar sedikit kungfu dari seorang mahaguru kungfu yang beragama Kristen Protestan.

Rabu, 02 Oktober 2013

Pendeta Palti minta SBY belajar toleransi dari Jokowi


Pendeta Palti minta SBY belajar toleransi dari Jokowi thumbnail









01/10/2013
Pendeta Palti Panjaitan

Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Palti Panjaitan, merasa prihatin dengan sejumlah tindakan intoleransi di Tanah Air.
Ia mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya belajar dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) soal toleransi yang dinilainya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi beragama selama hampir setahun menjabat.
Salah satunya, kata Pendeta Palti, sikap Jokowi merespons penolakan warga atas penempatan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Susan mendapatkan penolakan dari sekelompok warga karena alasan agama yang dianutnya.
“Statement Jokowi jelas, Lurah Susan tidak akan dipindah karena isu agama. Tapi, kalau kinerja jelek baru akan dipindah,” kata Pendeta Palti seperti dilansir kompas.com, Senin (30/9/2013).
Contoh lainnya, kata dia, persoalan Gereja Katolik Damai Kristus di Tambora. Menurutnya, beberapa pihak juga mendesak gereja tersebut ditutup. Namun, Jokowi menolaknya. Sikap Jokowi tersebut, menurut Pendeta Palti, kontras dengan sikap SBY.
Selama menjabat Presiden, ia menilai banyak tindakan intoleransi terjadi dan Presiden SBY tak banyak bertindak. “Kalau Presiden SBY, tidak ada (bertindak) seperti itu,” ujar Palti.
Palti pun mencontohkan kasus intoleransi yang menimpa gerejanya, Gereja Filadelfia, Bekasi, dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Sudah dua tahun gereja tersebut disegel karena perkara yang tidak jelas sehingga jemaat tidak dapat beribadah di gereja tersebut. Secara rutin, mereka pun memilih beribadah di depan Istana setiap dua minggu sekali. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan sedikit pun dari Presiden SBY.
Demokrat salahkan pemuka agama
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf justru mempertanyakan peran para pemuka agama selama ini. “Ini bukan cuma tugas SBY. Ini tugas pemuka agama. Bagaimana dia menenangkan umatnya,” ujar Nurhayati, di Kompleks Parlemen, Senin (30/9/2013)
Nurhayati mencontohkan kasus kelompok Syiah di Madura. Menurutnya, kasus itu tak perlu berlarut-larut selama penanganan oleh pemuka agama bisa dilakukan efektif. Ia pun mengklaim toleransi antarumat beragama di Indonesia adalah yang paling indah.
“Coba lihat kontes Miss World bisa berjalan dengan baik. Coba kalau MTQ di bawa ke negara lain? Apakah bisa sama sikapnya seperti kita di Indonesia,” ucapnya.
Ia menyatakan kecewa dengan pernyataan pemuka agama yang menyudutkan Presiden SBY. Pernyataan soal intoleransi di Indonesia, kata Nurhayati, justru memojokkan citra negeri sendiri.

Romo Widyo berpartisipasi dalam kebaktian di depan Istana Negara


Romo Widyo berpartisipasi dalam kebaktian di depan Istana Negara thumbnail

 

 

 

 

 

30/09/2013
Romo Widyo (bertopi) dan Pendeta EP Sembiring setelah ibadah di seberang Istana Presiden

Pastor Kepala Paroki Damai Kristus Tambora, Jakarta Barat, Romo Matheus Widyolestari MSC  bersama Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia beribadat di seberang Istana Negara.
Romo Widyo ikut ibadah dua mingguan tersebut pada Minggu (29/9), meminta perhatian pemerintah pusat atas penyegelan gedung gereja GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia.
Seperti diberitakan sebelumnya, gereja Paroki Damai Kristus juga pernah diprotes oleh warga Muslim yang didukung kelompok Muslim radikal setelah mereka mendapat informasi bahwa pihak paroki berencana membangun gedung gereja baru, padahal pihak paroki berencana membangun gedung serba guna, bukan gereja.
Dalam sambutannya Romo Widyo menegaskan, bahwa dia akan tetap mendampingi kedua jemaat Gereja ini berjuang menuntut haknya dalam beribadah di gedungnya sendiri yang sah.
“Saya tidak akan meninggalkan saudara-saudara sendirian, karena Tuhan juga tidak pernah meninggalkan kita sendirian,” demikian ungkap Romo Widyo, seperti dilansir satuharapan.com.
“Mungkin kita seringkali dalam hati, lelah berjuang, sudah beberapa tahun di sini, terkena panas dan hujan. Tetapi kita tidak boleh menyerah, karena kekuatan kita adalah dari Tuhan,” lanjutnya.
“Santo Paulus katakan, kalau Tuhan di pihak kita, siapakah lawan kita. Semuanya telah Tuhan selenggarakan, ini adalah proses kehidupan, termasuk saya, diproses, dibentuk, supaya semakin lama semakin kuat,” kata dia yang datang bersama pengurus Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, Romo Widyo menyampaikan dukungannya terhadap kedua Gereja tersebut. “Tetap berjuang, kepada seluruh yang berkumpul di sini, jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, tetap berjuang.  Kami berdoa, kami bersama-sama.  Dan mudah-mudahan … saya tidak akan pernah meninggalkan saudara-saudara sendirian, karena Tuhan juga tidak meninggalkan kita sendirian.  Kita hanya meniru yang Tuhan Yesus lakukan. Itu pula yang kita lakukan”.